West Papua 2020 Kebebasan Berekspresi dan Kebebasan Berkumpul Laporan Lengkap

16 Sep 2021
TAPOL

West Papua 2020: Serangan fisik dan digital terhadap kebebasan berekspresi dan berkumpul di West Papua

Siaran Pers
London, 16 September 2021

Demonstran, aktivis mahasiswa, kelompok aktivis politik West Papua dan Indonesia, pengacara dan pembela hak asasi manusia (HAM), serta warga sipil, terus mengalami represi karena keterlibatan mereka dalam demonstrasi damai dan rapat-rapat yang berlangsung pada tahun 2020 di West Papua dan luar West Papua. 

Itulah temuan-temuan dari sebuah laporan terbaru, “West Papua 2020: Laporan Kebebasan Berekspresi dan Berkumpul”, yang di dalamnya TAPOL menyusun dan menganalisa berbagai insiden yang dicatat organisasi-organisasi masyarakat sipil West Papua dan Indonesia. Laporan ini memuat rekomendasi-rekomendasi spesifik untuk Pemerintah Indonesia dan komunitas internasional. Sebagaimana diutarakan Pelagio Doutel dari TAPOL, “... Represi fisik dan digital pada tahun 2020 hampir tidak menyisakan ruang bagi orang West Papua, atau masalah West Papua, atau demonstrasi secara umum, dapat dilakukan secara bebas.”

Lebih lanjut Pelagio mendesak agar Pemerintah Indonesia berhenti membatasi kebebasan berekspresi dengan memanfaatkan peraturan pencegahan penyebaran Covid-19, dan berhenti menggunakan tuduhan makar yang di hampir seluruh kasus tidak proporsional dengan dugaan pelanggaran. Ia juga meminta perhatian komunitas internasional untuk berperan memastikan Pemerintah Indonesia memenuhi tanggung jawab hukumnya dalam menjunjung tinggi HAM dan tidak mengkriminalisasi rakyat West Papua secara sewenang-wenang.     

Laporan ini juga merinci tindakan represi yang terdiri dari pembubaran sewenang-wenang, penangkapan sewenang-wenang, teror dan intimidasi, serta pemadaman internet dan/atau serangan digital, terhadap mereka yang mendukung hak menentukan nasib sendiri rakyat West Papua dan mereka yang menentang perlakuan Pemerintah Indonesia pada rakyat West Papua. Represi umumnya dilakukan oleh aparat kepolisian dan militer Indonesia, tapi sejumlah tindakan juga dilakukan oleh milisi reaksioner sayap kanan, institusi pendidikan, dan pejabat pemerintahan sipil.

Pandemi Covid-19 telah menjadi dalih pemerintah dalam membungkam berbagai demonstrasi jalanan di Indonesia. Protokol pencegahan Covid-19 yang diberlakukan pemerintah telah memberi lebih banyak kewenangan bagi polisi dan tentara untuk membungkam aksi-aksi demonstrasi, walau hal itu tidak terjadi secara merata di seluruh Indonesia. Di wilayah seperti West Papua telah terjadi peningkatan jumlah aparat keamanan yang ditempatkan di jalan-jalan. Aparat keamanan menangkap 443 orang. Dari angka itu, 297 di antaranya ditangkap di West Papua dan 146 sisanya ditangkap di luar West Papua. Aparat mendakwa 18 orang—semuanya orang West Papua—dengan pasal makar. Berbagai pembubaran sewenang-wenang terjadi di aksi-aksi demonstrasi tentang West Papua, dengan puluhan insiden intimidasi dan kekerasan berlangsung sebelum dan saat demonstrasi dibubarkan. Intimidasi dan kekerasan juga terjadi secara daring (online). Banyak diskusi publik tentang West Papua, yang digelar secara daring, diserang oleh orang tak dikenal dengan maksud mengacaukan acara, bahkan para pembicara mendapat panggilan telepon intimidasi dan pesan berisi ancaman.  

Aksi-aksi demonstrasi di West Papua terus terjadi pada 2020 karena tahanan politik yang ditangkap pada 2019 masih menjadi sorotan serta karena masalah pembaruan Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) West Papua. Demonstrasi menentang Omnibus Law juga berlangsung di banyak kota di Indonesia, tidak terkecuali di West Papua. Persidangan sejumlah tahanan politik terkemuka dari Gerakan West Papua Melawan 2019 berlangsung pada awal tahun 2020. Akibatnya, banyak demonstrasi dan diskusi publik digelar untuk turut menyuarakan solidaritas dan tuntutan agar para tahanan politik dibebaskan.

SELESAI

Narahubung: Pelagio Doutel, TAPOL Campaigns, pelagio@tapol.org