Seakan Kitorang Setengah Binatang

1 Dec 2014
Filep Karma
 
Masa Kecil Di Wamena dan Jayapura
 
KELUARGA FILEP KARMA adalah keluarga terpandang di Papua. Mereka berasal dari satu kampung sebelah utara Pulau Biak. Ayahnya, Andreas Karma, termasuk bupati paling populer di Papua. Andreas wakil bupati Jayapura pada 1968 hingga 1971. Lalu dia bupati Wamena pada 1970-an serta Serui pada 1980-an.
 
Pada 1979, pemuda Filep Karma, sesudah lulus sekolah menengah di Jayapura, belajar ilmu politik di Universitas Sebelas Maret, Solo, Pulau Jawa. Dia lulus 1987 dan bekerja sebagai pegawai negeri di Jayapura. Dia menikah dengan Ratu Karel Lina, seorang perempuan Melayu-Jawa, kelahiran 1960, asal Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Mereka punya dua anak, Audryne dan Andrefina, kini masing-masing bekerja sebagai dokter gigi dan ahli farmasi.
 
Pada 1997, sebagai seorang pegawai negeri, Filep Karma mendapat beasiswa setahun kuliah di Asian Institute of Management, Manila. Ketika terbang dari Manila ke Jakarta pada Mei 1998, dia melihat protes mahasiswa Universitas Trisakti terhadap pemerintahan Presiden Soeharto. Dia hanya dua hari ada di Jakarta ketika Jakarta sedang bergolak.
 
Pendidikan dan pengalaman tersebut, dari Jayapura sampai Manila, membentuk kepribadian dan pemikiran Filep Karma. Pendidikan membuat dia sadar penindasan terhadap orang Papua. Pendidikan juga mengubah cara pandangnya terhadap perjuangan kemerdekaan Papua maupun apa yang biasa disebut Organisasi Papua Merdeka (OPM).
 
Bapa tinggal di Biak sampai usia berapa?
 
Saya lahir di Jayapura pada Agustus 1959. Keluarga kami punya kampung di Biak Utara. Saya dibawa ke Biak, selama enam bulan, oleh ayah saya pada tahun 1967 hingga 1968. Saya lalu pindah ke pedalaman, ikut tugas ayah di Bokondini, dekat Wamena, bersama mama dan adik-adik.
 
Ketika masih kecil bagaimana Bapa tahu cerita pemerintahan militer Indonesia di Papua pada 1963-1969?
 
Ketika kelas dua SD, saya sudah dengar itu. Saya mendengar cerita dari keluarga yang dianiaya militer, juga dari teman-teman SD.
 
Ada seorang ibu dari teman SD saya, waktu main ke rumahnya di Jayapura, ibu tersebut menceritakan dia pernah jadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong zaman Presiden Soekarno. Waktu itu, banyak orang Papua ingin New York Agreement dijalankan dengan one man one vote. Tapi Indonesia menganggap one man one vote tidak cocok untuk Papua. Orang Papua dianggap masih terbelakang, belum siap buat referendum, Indonesia ingin pakai sistem musyarawah. Ibu teman saya lebih suka one man one vote maka dituduh mendukung Papua Merdeka. Ditangkap militerlah dia, dipenjara dan diinterogasi. 
 
Ceritanya menambah pemahaman saya soal penolakan terhadap New York Agreement oleh Indonesia. Pada 1969, akhirnya hanya 1.025 orang dipilih Indonesia untuk 100 persen dukung integrasi dengan Indonesia. Mereka diancam dan dipaksa memilih Indonesia. Ini secara prinsip bertentangan dengan New York Agreement. Mereka yang ingin referendum ditangkap tentara. Hanya tidak setuju dipenjara.
 
Cerita lain saya dengar dari Samuel (Sam) Karma, saudara saya. Dia datang membesuk waktu saya diopname di Rumah Sakit Dok II, Jayapura tahun 2010. Dia bercerita bahwa sejak Tri Komando Rakyat (Trikora) mulai diumumkan Ir. Soekarno Desember 1961, sudah ada penyusupan mata-mata Indonesia ke Papua. Pada tahun 1962 saat tentara perdamaian PBB masuk ke Papua, tentara Indonesia ikut masuk dan mulai melakukan penangkapan dan teror kepada orang Papua.
 
Teror semakin meluas pada 1963. Sam Karma cerita, jika mobil patroli polisi atau militer lewat di jalan dan ada dua atau tiga orang Papua berdiri di pinggir jalan, mobil itu berhenti, polisi turun dan perintahkan orang Papua bubar. Bila di antara orang tersebut ada yang vokal, mereka langsung ditangkap dan dibawa ke pos polisi terdekat untuk ditahan.
 
Cerita lain lagi saya dengar dari A. Rumpaisum, tante saya. Ia menjadi anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP) dan dikarantina di asrama STM Dok VII Tanjung. Setiap hari dia didoktrin oleh perwira militer. Kadang-kadang pada malam hari, tante saya diajak jalan-jalan dan ditraktir minum bir sepuasnya, sambil terus didoktrin dan diawasi gerak-geriknya. Waktu Pepera 1969 dilaksanakan, tante saya diancam, kalau memilih opsi Papua Merdeka, maka mulutnya akan disobek dan keluarganya akan dibunuh.
 
Apa pengalaman pribadi dengan Pepera 1969?
 
Pada awal tahun 1968, saya usia sembilan tahun, kakek saya mengungsi dari Biak. Sementara kami anak-anak ikut Bapak saya, Andreas Karma, yang baru dapat promosi menjadi wakil bupati Jayapura. Jadi kami tinggal di Kampung Harapan. Bapak jadi wakil bupati Jayapura dari 1968 sampai 1971.
 
Pernah tentara datang ke rumah kami di Kampung Harapan. Tendang-tendang pintu rumah, gedor-gedor dengan popor senjata, terus dibuka, suruh angkat tangan semua. “Apakah disini menyembunyikan pentolan OPM?” teriak tentara.
 
Kebetulan masih saudara kami: Samuel (Sam) Karma dan Jan Pieter Karma. Dulu posisinya apa saya tidak tahu. Kalau Jan Pieter Karma salah satu pentolan OPM, di kampung saya di Biak, yang terakhir saya dengar, kalau tidak salah, pangkatnya kolonel.
 
Dari mereka, kami tahu kalau ada operasi militer. Mereka merasa tidak aman di pedalaman, mengungsi ke kota. Banyak barang rakyat dirampas tentara Indonesia. Kalau baca buku Jusuf Wanandi, Shades of Grey: A Political Memoir of Modern Indonesia 1965-1998, juga bisa dipelajari penjarahan oleh tentara-tentara Indonesia. Jusuf Wanandi waktu itu asisten Letnan Jenderal Ali Moertopo, salah satu penasehat Presiden Soeharto. Pada Mei 1967, Wanandi dikirim ke Papua guna mempelajari persiapan referendum.
 
Wanandi terkejut lihat barang-barang dijarah tentara Indonesia. Menurut Wanandi, Papua praktis diabaikan oleh pemerintah Jakarta sejak Mei 1963, ketika Indonesia diizinkan oleh United Nations untuk sementara menguasai Papua.
 
Sebelum Mei 1963, Belanda banyak membangun infrastruktur kesehatan, pendidikan, jalan dan sebagainya di Papua. Ketika militer Indonesia datang resmi ke Papua, mereka menjarah barang-barang peninggalan Belanda dan dibawa pulang ke Jawa. Ali Moertopo terkejut membaca laporan Wanandi. Wanandi usul pemungutan suara dilakukan pada 1969. Wanandi menulis Indonesia pasti kalah kalau diadakan pada 1968.
 
Maka Ali Moertopo minta izin kepada Presiden Soeharto agar diperbolehkan memakai dana taktis operasi khusus mereka milik Kostrad yang disimpan di bank-bank Singapura dan Malaysia, total US$17 juta guna mengirim barang-barang ke Papua1. Soeharto beri izin. Ali Moertopo minta Wanandi beli barang-barang di Singapura dan Malaysia agar dikirim ke Papua. Tapi jumlah US$17 juta, tentu saja, tidak cukup buat mengganti macam-macam barang yang dijarah tentara. Saya pernah lihat rumah sakit di Surabaya memakai lemari baja buatan Belanda untuk rumah sakit Dok II Jayapura. Masih ada stempel Dok II di lemari tersebut.
 
Kejadian di Kampung Harapan itu bagaimana?
 
Itu rumah paman saya, adik ayah saya, yang menikah sama marga Rumsowek. Waktu itu baru bangun tidur kan? Kaget! Bingung! Setelah buka pintu terus angkat tangan. Tentara terus bilang, “Kami mencari Sam Karma sama Jan Pieter Karma. Kalian menyembunyikan?” Kami bilang tidak ada. Terus mereka menggeledah, masuk ke kamar tidur, kasur jungkir-balik, pakaian di lemari dihamburkan semua di lantai.
 
Ada truk tentara, terus ada mobil lain. Rumah itu dikepung, sekeliling rumah, ada yang masuk dari depan, setelah menggedor-gedor, yang lain masuk ke kamar-kamar periksa. Saya tak tahu berapa banyak.
 
Berapa anak waktu itu tinggal di rumah paman?
 
Saya, adik saya, paman saya dengan istri, yang belum punya anak, terus kakek saya, adik-kakak, menumpang di situ. Waktu itu situasi kampung-kampung bergolak karena penjarahan dan penindasan tentara. Menjelang Pepera 1969, seluruh Papua bergolak, Biak juga bergolak. Mereka merasa tidak aman di kampung Biak, jadi mengungsi tinggal di kota Jayapura.
 
Bagaimana Jan Pieter Karma dan Sam Karma bisa diduga ke rumah tersebut?
 
Memang mereka disebut datang kesitu. Cuma orang memberikan informasi palsu saja. Yang datang dua kakek saya dari kampung itu, kakak-beradik. Mungkin mereka diduga Jan Pieter Karma dan Sam Karma. Tapi yang lucu, pada siang menjelang sore, ada satu kakek kami juga, yang bekerja sebagai polisi, namanya Fritz Karma. Dari cerita keluarga, saya tahu dia informan militer juga. Apakah dia yang melaporkannya? Sebab setelah dia bertamu, malamnya kok ada tentara?
 
Akhirnya Jan Pieter Karma dan Sam Karma bagaimana?
 
Kalau Jan Pieter tidak ditangkap. Waktu itu ayah saya melakukan pendekatan dengan mereka supaya menyerah. Kalau tidak menyerah, masyarakat kami di kampung yang terancam. Mereka masih ada sekarang.
 
Ada pengalaman pribadi lainnya tentang Pepera 1969?
 
Ada. Waktu saya sekolah di Christus Rex, Jayapura kelas 2 dan 3 SD, saya mulai kenal dengan teman-teman baru, anak Papua juga non Papua. Dari jumlah murid yang ada di kelas, yaitu perbandingan antara Papua dan non Papua, sangat jomplang. Jumlah murid Papua 9 orang dan non Papua 33 orang.2
 
Ternyata sekolah unggulan milik gereja ini lebih mengutamakan kepentingan anak non Papua dari pada anak Papua. Meskipun data ini kurang valid untuk sebuah kesimpulan yang bersifat umum. Pada kesempatan lain, saya dan teman-teman suka bermain, keluar masuk kampung. Suatu hari kami bermain di gudang-gudang milik Pemerintah Kabupaten Sukarnopura. Waktu kami masuk ke kompleks itu, kami melihat tempatnya dipenuhi kendaraan lapis baja. Menjelang Pepera 1969, situasi politik di Sukarnopura semakin tegang. Setiap hari, entah pagi atau sore, pasti ada konvoi pasukan militer Indonesia menggunakan kendaraan lapis baja itu.
 
Sesudah Pepera 1969, bagaimana suasana Papua, saat Bapa remaja?
 
Pada era 1960-an sampai 1980-an, ketika saya remaja, Presiden Soeharto berkuasa dengan dukungan militer Indonesia. Soeharto tak banyak membatasi kekuasaan militer. Di Papua militer berkuasa total. Di Papua tak ada kebebasan berbicara. Kalau ada orang bicara, jangankan 2 Nama teman-teman kelas 2 SD: Edward Manobi (Pensiunan Bank BRI Subang-Jayapura), Leon Wayoi (Swasta-Jayapura), Karolus Poana (PT POS-Jakarta), Arthur Rank, Slamet Widodo, Yani Suryani Satia, Etha Saroge (PNS Pemprov Papua), Usman Triono (PT Wijaya Karya). Nama temanteman kelas 3 SD: Anjar/Cucu Djumar (anak pamen militer Kodam 17 Cendrawasih), Annanta Djumar (anak pamen militer Kodam 17 Cendrawasih), Arthur Rank (anak pegawai PLN), Bagas/ Bugas (anak pamen polisi), Berthus Tamnge (anak pegawai Dinas Pertanian), Carolus Poana (anak pegawai Dinas Sosial), Edhie (orang NTT, anak pegawai), Edward Manobi (anak anggota DPRGR Irian Barat), Endang Saparini (anak Kepala Kantor Agraria Propinsi Irian Barat), Eng/Elisabeth Kwa (anak Rumah Makan Sederhana), Ernawati (anak Panglima Daerah Angkatan Laut Irian Barat), Etha Saroge (anak pegawai kantor), Gustav (Uta) Parinusa (anak pegawai Pemda Irian Barat), Heru Subagio (anak Pegawai Dinas P&P), Jan Christian Gebze (anak pegawai Pemda Irian Barat), Jopie Hehakaya (anak Pegawai Pemkab Sukarnopura), Kristian/Kristianto (anak Ketua Pengadilan Tinggi Irian Barat), Lakhsmi (anak pegawai), Leon Wayoi (anak Pegawai Pemda Irian Barat), Linda Dequeldju (anak pegawai), Lisa Permana (anak Kadapol Irian Barat), Martha Kopong (anak pegawai), Marthinus Hehakaya (anak pegawai Pemkab Sukarnopura), Nikmah (anak militer), Niniek (anak pegawai), Oliva (anak pemilik Toko Capitol), Pangki Poana (anak pegawai Dinas Sosial), Petrus Kawi (anak pegawai PLN), Pieter Kawi (anak pegawai PLN), Ratna Paramita (anak pegawai PMI), Ratna Sutrisno (anak Kasdam 17 Cendrawasih), Retno Cahyaningtyas Sarwo Edhie W (anak Pangdam 17 Cendrawasih), Retno Puji Rahayu/Cipud (anak Pamen Kodam 17), Slamet Widodo (anak pegawai Perindustrian), Sri Rejeki (anak Pamen Kodam 17), Susilo (anak Kadapol Irian Barat), Toni/Edi Sasmita (anak Pamen Polisi), Usman Triono (anak pegawai), Wuriatmoko Kartika Hadi (anak pegawai Kejaksaan Irian Barat), Yani Suryani Satia (anak Sekda Propinsi Irian Barat), Yenni (orang Manado, anak Pama TNI), Yudhi Triwahyudie (anak pegawai)bicara tentang merdeka, baru nama ‘Papua’ saja, bukan nama ‘Irian’, orang sudah dicap separatis. Mereka ditangkap oleh polisi ataupun militer. Mereka ditangkap dan dianiaya lalu dimasukkan penjara, tanpa disidang. Banyak juga yang dihilangkan. Sampai sekarang kita tidak tahu. Kalau sudah meninggal di mana kuburannya? Ada kuburan tanpa nama dan nama tanpa kuburan. Kalau masih hidup di mana tempat tinggal saat ini? Hilang di tangan aparat.
 
Waktu remaja saya berpikir kalau saya berjuang Papua Merdeka berarti saya harus berjuang dengan kekerasan. Saya harus mempersenjatai diri dan berjuang di hutan-hutan. Tidak mungkin tinggal di kota. Namun itu berarti siap mempertahankan nyawa. Pada umumnya orang Papua semua berpikir demikian.
 
Setelah saya pulang kuliah dari Jawa, tahun 1998, saya bekerja di pemerintah. Saya melihat masih terjadi perlakuan diskriminasi rasial dari aparat pemerintah Indonesia maupun saudara-saudara non-Papua, yang merantau ke Papua untuk mencari kerja. Mereka memandang, menganggap dan memperlakukan orang Papua sebagai setengah manusia, tidak diakui sebagai manusia pada umumnya. Kemudian terjadi perampasan hak-hak orang Papua, antara lain tanah, posisi di pemerintahan, ataupun perusahaan-perusahaan swasta, yang dimiliki oleh orang Papua. Perusahaan-perusahaan itu kadangkadang diambil alih.
 
Contoh, dulu di Papua, ada perusahaan Nieuwenhuijs, yang dimiliki oleh keluarga saya, Rumpaisum. Itu diambil alih oleh orang asal Manado. Sekarang perusahaan itu milik mereka, bergerak dalam ekspedisi muatan kapal laut.
 
Contoh lain, di Jayapura, di Jalan Irian–kalangan pejuang sebut Jalan Merdeka—hampir semua toko yang dimiliki oleh orang Papua pada 1960-an, sekarang sudah bukan milik orang Papua lagi. Tokotoko tersebut sudah berpindah tangan kepada non-Papua. Diambil alih dengan cara kasar. Kadang dengan menuduh orang Papua tersebut OPM, maka saat orang itu ditangkap, semua asetnya berpindah tangan ke non-Papua.
 
Contoh lain lagi. Sebuah pompa bensin Samudra Maya di Dok V Bawah, Jayapura, milik seorang Belanda. Ketika Belanda pulang, sekitar tahun 1961 dan 1962, pemiliknya menyerahkan pompa bensin kepada almarhum Herman Wayoi, lengkap dengan semua surat-surat hak kepemilikan dan izin usaha. Sewaktu masuk tentara Indonesia, pompa bensin tersebut diambil paksa dari Herman Wayoi. Dia dituduh OPM, ditahan oleh militer, lalu tanpa sidang, beliau dipenjara dalam penjara militer beberapa tahun. Perusahaan tersebut tetap jadi milik Angkatan Darat.
 
Dari anak seorang pejabat Indonesia, juga pegawai negeri, Bapa berubah jadi orang yang kritis terhadap Indonesia. Apa yang membuat perubahan tersebut?
 
Ini merupakan kilas balik masa lalu. Saya dapat kesempatan sekolah di Asian Institute of Management, di Manila, Filipina. Di sana saya melihat masalah hak asasi manusia diperhatikan oleh saudara-saudara di Filipina. Mungkin tak seluruhnya. Tapi kebetulan tempat saya bermukim, saya bergaul dengan teman-teman, di daerah Makati tahun 1997-1998, hak asasi manusia dihormati.
 
Di situ saya mengamati suasana baru. Suasana beda dengan suasana yang saya alami selama kecil di Papua sampai saya merantau sekolah di Jawa. Saya tak pernah dapat perlakuan yang sama seperti yang saya alami di Manila.
 
Di Manila, saya dihargai sebagai manusia dan tak ada pelecehan, penghinaan atau perlakuan diskriminasi. Itu yang saya rasakan dalam pergaulan. Contoh ketika saya berbelanja di supermarket atau di pasar. Dalam pergaulan dengan masyarakat, saya merasa dihargai, sebagai sesama seperti mereka. Jadi saya dianggap bagian dari mereka atau dalam istilah Jawa diwongke atau dimanusiakan, tidak seperti yang pernah saya alami di Papua atau di Jawa.
 
Selama sekolah di Jawa, kitorang yang dari Papua, sering dianggap setengah binatang. Kitorang dianggap seakan-akan kitorang evolusi dari teori Darwin, proses dari hewan berubah jadi manusia.
 
Itu saya rasakan dari teman-teman yang kuliah di Solo. Jadi mereka bukan dari masyarakat yang tidak berpendidikan saja, tapi juga dari kalangan berpendidikan. Mereka memperlakukan kami begitu. Seringkali orang Papua dikata-katai, “Monyet! Ketek! Begitu.”
 
Di sana juga saya menemui kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan berbicara, dan penghargaan terhadap pendapat yang saya kemukakan. Ini motivasi saya. Setelah saya kembali ke Papua, saya lebih berani dalam berbicara, tidak seperti sebelum saya kuliah ke Filipina.
 
Manila juga mengubah konsep perjuangan saya. Tadinya saya berpikir harus jadi OPM atau berjuang Papua Merdeka harus masuk hutan dan bersenjata. Tapi ternyata tidak harus demikian. Gerakan bersenjata memang salah satu sisi perjuangan tapi ada sisi lain juga: berjuang dengan damai, tidak harus membunuh, tidak harus menembak orang.
 
Jadi kitorang berjuang damai dan konsisten terhadap apa yang kitorang perjuangkan. Berjuang damai di tengah-tengah komunitas atau dalam kota, tidak perlu lari ke hutan dan sembunyi. Kitorang tetap tinggal dalam kota dan menyampaikan aspirasi secara damai, sopan dan santun, tanpa menindas orang lain. Kitorang menuntut hak tanpa menindas hak orang lain, tapi kitorang punya kebebasan untuk menyampaikan kitorang punya pendapat dan sepantasnya itu didengar oleh pihak lain.
 
Kalau tidak sependapat atau berbeda pendapat tidak harus menindas salah satu. Tapi mari kitorang bicara supaya ada komunikasi dua arah. Ada dialog, dialektika dalam komunikasi, sehingga bisa ditemukan hal atau nilai yang ada kesamaan. Mungkin ada nilai-nilai yang tidak bisa disamakan atau ada perbedaan di mana kitorang bisa mencapai suatu tingkatan, sepakat untuk kitorang sepakat dan sepakat untuk kitorang tidak sepakat.
 
Saya dari Manila kembali ke Papua saat Presiden Soeharto mundur bulan Mei 1998. Tanggal 22 Mei 1998 saya tiba di Jayapura saat Jakarta sedang banyak mahasiswa merayakan Soeharto mundur dari kursi presiden.
 
Apa pengalaman di Filipina yang bikin percaya perjuangan damai itu mungkin?
 
Saya di Manila saat Presiden Fidel Ramos berkuasa. Kami boleh berbeda pendapat tapi tak harus berantem. Hal ini bisa kami terapkan di Papua. Waktu itu baru saja Soeharto jatuh tapi arogansi dari aparat masih kental.
 
Saya mulai berpikir. Ini perjuangan yang bisa kami gunakan untuk memperjuangkan hak-hak kami: tak harus masuk hutan, tak harus bersenjata, tapi dengan ideologi. Kami boleh menyampaikan itu secara bebas kepada lawan kami.
 
Saya juga terinspirasi dengan people power di Filipina pada 1986 yang bikin Presiden Ferdinand Marcos lari. Saya juga belajar dari Jakarta pada 1998. Juga pola yang diajarkan dan dipraktikkan Mahatma Gandhi di India. Martin Luther King Jr. di Amerika Serikat, Nelson Mandela di Afrika Selatan serta Aung San Suu Kyi di Burma.
 
 
Catatan 1: Pada 1963-1965, Letnan Jenderal Soeharto adalah Panglima Komando Strategis dan Cadangan ketika dia memerintahkan Ali Moertopo bikin operasi khusus guna mencairkan ketegangan Indonesia dan Malaysia. Operasi ini memiliki dana yang disimpan di bank-bank Singapura dan Malaysia.