Pernyataan Bersama terhadap Putusan Majelis Hakim PN Makassar untuk Kasus Sorong Enam

30 Jun 2022
Koalisi Advokasi Maybrat

Koalisi Advokasi Maybrat mengecam putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Makassar yang memvonis Sorong Enam bersalah dan menjatuhkan hukuman penjara selama 18 serta 20 tahun. Keputusan tersebut sama dengan menabur garam di atas luka-luka lama orang Papua yang belum kunjung sembuh dan mempertebal ketidakpercayaan mereka pada proses penegakan hukum  Indonesia.

Enam tahanan politik asal Sorong (Maikel Yaam, Amos Ky, Agustinus Yaam, MS, YW, dan RY) alias Sorong Enam divonis bersalah oleh majelis hakim yang diketuai Franklin B. Tamara pada Selasa, 31 Mei 2022. Mereka dianggap terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap empat prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) di pos militer Kisor, Kabupaten Maybrat, 2 September 2021. Hakim menjatuhkan hukuman penjara selama 18 tahun untuk Agustinus Yaam, YW, dan MS[1] serta hukuman penjara selama 20 tahun untuk  Maikel Yaam, Amos Ky, dan RY.[2]

Koalisi Advokasi Maybrat menilai putusan tersebut telah mengabaikan berbagai pelanggaran hukum acara dan fakta yang ada di persidangan.

  1. Para terdakwa mengalami penyiksaan saat ditangkap dan diperiksa medio September 202 Mereka dipukul popor senjata, ditendang, ditinju tangan bercincin giok, disetrum, telinga dijepit stapler, hingga disuruh membersihkan ceceran darah di lantai menggunakan mulut.
  2. Para terdakwa dipindahkan dari Sorong, Papua Barat, ke Makassar, Sulawesi Selatan, oleh polisi dan jaksa tanpa sepengetahuan pengacara dan keluarga pada 29 Desember 2021.
  3. Aparat penegak hukum, dalam hal ini polisi, jaksa, dan hakim, mengabaikan fakta bahwa tiga dari enam terdakwa masih di bawah umur.
  4. Bukti-bukti yang dihadirkan jaksa lemah dan tidak mempunyai hubungan yang kuat dengan keterlibatan para terdakwa. Dakwaan yang diajukan jaksa pun diduga merupakan salinan berita acara pemeriksaan (BAP) dari kepolisian.
  5. Sejumlah anggota TNI yang selamat dari penyerangan bersaksi dalam persidangan bahwa Sorong Enam bukanlah pelaku penyerangan.
  6. Tiga terdakwa diintimidasi dan dimanipulasi tiga orang penyidik Polres Sorong Selatan di ruang tahanan Polda Sulawesi Selatan pada 27 dan 28 Maret 2022, agar mengaku kepada hakim bahwa mereka terlibat penyerangan. Di persidangan, 30 Maret 2022, tiga terdakwa itu akhirnya mengaku. Akibat pengakuan tiga terdakwa itu, hakim batal memeriksa para penyidik yang diduga melakukan penyiksaan selama proses penangkapan dan pemeriksaan itu.
  7. Majelis hakim menutup mata terhadap fakta nomor 6, fakta yang melecehkan wewenang dan martabat pengadilan selaku lembaga yang bertanggung jawab dan berwenang terhadap keamanan para terdakwa saat proses persidangan.

 

Indonesia telah menjadi Negara Pihak (State Party) dari Konvensi Anti-Penyiksaan (UN Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman and Degrading Treatment or Punishment atau UN CAT). Di bawah UN CAT (Pasal 12 dan 13) Indonesia berkewajiban melakukan suatu investigasi independen, oleh institusi lain dari institusi yang diduga menjadi pelaku, terhadap dugaan terjadinya praktik penyiksaan terhadap Sorong Enam. Selain itu  di bawah UN CAT (Pasal 15) disebutkan bahwa segala barang bukti atau kesaksian yang diduga didapat dari praktik penyiksaan harus dikesampingkan sebagai fakta hukum.

Dengan mengabaikan hal-hal tersebut, putusan majelis hakim telah memperburuk citra penegakan hukum Indonesia di mata orang Papua. Persidangan akhirnya hanya menjadi panggung untuk menjerumuskan kambing hitam, bukan untuk mencari keadilan. Sulit dibayangkan berapa banyak lagi orang Papua yang akan menjadi korban ketidakadilan hukum Indonesia.

Kami mendesak:

  • Pengadilan Tinggi Makassar untuk membatalkan putusan tingkat pertama dan membebaskan Sorong Enam;
  • Komisi Yudisial Republik Indonesia untuk memeriksa dugaan pelanggaran yang dilakukan majelis hakim yang mengadili perkara Sorong Enam;
  • Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memberi perlindungan terhadap Sorong Enam selaku korban penyiksaan aparat kepolisian;
  • Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk mengawasi dan melindungi hakhak tiga dari enam terdakwa Sorong Enam yang masih di bawah umur;
  • Indonesia untuk membentuk suatu tim investigasi independen terhadap dugaan terjadinya praktik penyiksaan terhadap Sorong Enam.
  • Masyarakat sipil di Indonesia dan komunitas internasional untuk turut mengawasi serta menyuarakan ketidakadilan yang dialami Sorong Enam dan tahanan politik Papua lainnya.

 

30 Juni 2022

Narahubung:
LBH Kaki Abu lbhkakiabu86@gmail.com
LBH Makassar info@lbhmakassar.org
TAPOL info@tapol.org

 

[1] Nomor perkara: 69/Pid.B/2022/PN Mks

[2]  Nomor perkara: 70/Pid.B/2022/PN Mks