Pengadilan Kasus Paniai: Parodi yang dipastikan gagal sejak awal?

9 Dec 2022
TAPOL

Persidangan Isak Sattu, seorang pensiunan tentara yang menjabat perwira penghubung saat kejadian penembakan di Paniai tahun 2014, berakhir pada 8 Desember dengan putusan ia tidak bersalah atas dakwaan pelanggaran HAM berat. Persidangan ini telah berlangsung di Pengadilan Negeri Makassar sejak 21 September 2022 dan menjadi kasus pertama yang dibawa ke Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam 18 tahun terakhir. Lihat briefing kami sebelum persidangan dimulai, untuk mendapat informasi lebih lanjut tentang latar belakang kejadian dan pengadilannya itu sendiri.

Walau Komisi Nasional HAM merekomendasikan 41 orang untuk diadili karena bertanggung jawab atas peristiwa di atas, Kejaksaan Agung akhirnya hanya menyeret satu orang terdakwa. Hal ini mengesampingkan fakta bahwa pelaku-pelaku lain yang terlibat, yang terbagi dalam empat kategori: komando pembuat kebijakan; komando efektif di lapangan; pelaku lapangan; dan pelaku pembiaran.

Isak Sattu menjalani persidangan, didakwa atas tanggung jawab komando saat terjadinya “tindak kejahatan atas kemanusiaan dalam bentuk pembunuhan”, juga persekusi dan penganiayaan. Jaksa Penuntut Umum mengajukan tuntutan paling minimal, 10 tahun kurungan penjara, untuk terdakwa, dengan mempertimbangkan pengabdian yang telah terdakwa berikan, usia yang telah lanjut, dan sikap kooperatif selama persidangan.

Namun, tidak ada satu korban pun yang diundang untuk terlibat hadir bersaksi dalam proses persidangan. Fakta bahwa hanya satu pensiunan tentara berpangkat rendah yang ditetapkan sebagai tersangka tidak mencerminkan seriusnya penyelesaian kasus ini maupun rekomendasi Komnas HAM yang disebutkan di atas. Ini merupakan indikasi dari penyidikan yang lemah atau cacat, dengan hanya 21 dari 29 saksi yang dipanggil jaksa merupakan anggota TNI/Polri, dan banyak perbedaan signifikan dalam apa yang disampaikan jaksa dengan hasil investigasi Komnas HAM.

Misalnya, menurut organisasi masyarakat sipil KontraS, hasil investigasi Komnas HAM menyajikan uraian rinci tentang kepemilikan semua senjata yang dimiliki aparat keamanan di lokasi kejadian; sebaliknya, uraian jaksa menyebut mereka yang memprotes tindak pemukulan pada 8 Desember hanya mencatat dugaan kepemilikan senjata tajam.[1] Panglima TNI waktu itu, Jenderal Moeldoko, saat diwawancara Komnas HAM, mengklaim bahwa dia menerima pemberitahuan tentang terjadinya “serangan mendadak” di lapangan tempat pembunuhan berlangsung pada 8 Desember 2014, ini menyiratkan bahwa aparat bersenjata hanya bereaksi pada kekerasan yang terjadi. Namun Komnas HAM juga melihat video yang menampilkan bahwa sebelum kejadian pembunuhan, rentetan tembakan dilepaskan dari sebuah jalan mengarah ke lapangan.[2]

Dalam pernyataannya, Isak Sattu mengklaim bahwa saat insiden 8 Desember 2014 berlangsung, ia tidak bisa berkomunikasi dengan komandan Kodim setempat, dan ia tidak melihat tembakan yang berasal dari kantor Polsek setempat. Tentang prajurit yang ada di sekitarnya, ia mengatakan bahwa mereka mengambil senjata atas inisiatif mereka sendiri demi merespons peristiwa yang berlangsung. Walau bukan komandan para prajurit itu, ia merupakan perwira paling senior di sana sehingga ia memerintahkan para prajurit untuk melepas tembakan ke atas, bukan ke arah massa.

Ia juga sempat menyampaikan bahwa ia tidak tahu sama sekali tentang pemukulan anak-anak oleh prajurit TNI pada 7 Desember. Ini adalah kelalaian utama karena protes yang berujung insiden tanggal 8 Desember itu dilakukan sebagai reaksi atas apa yang saat itu terjadi. Isak juga sebelumnya mengatakan di persidangan tanggal 28 November 2022 bahwa: "Saya dipaksa, sebagai satu-satunya terdakwa dari sekian banyak saksi-saksi yang diperiksa. Padahal ada saksi yang lebih berpotensi untuk ditingkatkan jadi tersangka atau terdakwa, tapi tidak didalami oleh tim pemeriksa [jaksa]."[3]

 

Rentetan Kegagalan

Banyak kegagalan yang bisa dilihat dari hasil-hasil "Pengadilan HAM" di Indonesia. Pengadilan HAM didirikan untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang spesifik, terdiri dari kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pengadilan-pengadilan HAM itu diatur dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000, saat Indonesia dalam masa transisi dari kediktatoran militer. Peraturan domestik tersebut diterima oleh komunitas internasional sebagai sebuah alternatif atas pengadilan internasional yang hendak mengadili pelaku kekejaman dari kalangan militer dan yang didukung militer di Timor-Timur medio 1999.

Persidangan para pelaku dalam kasus-kasus tersebut, termasuk pejabat militer dan pimpinan milisi, berlangsung di Jakarta. Pengadilan menjatuhkan vonis bersalah terhadap enam dari delapan belas terdakwa, di samping beberapa hakim berpikiran independen menjadi sasaran intimidasi dan gangguan oleh pejabat militer dan pemerintah. Pengadilan HAM Ad Hoc Timor-Timur tahun 2003 dicirikan oleh "penuntutan yang pasif dan lemah, ditambah dukungan yang tidak memadai dari Kejaksaan Agung."[4] Lalu, seluruh terpidana dibebaskan dari segala dakwaan pada tingkat banding. Terlepas dari sekian banyak pembunuhan oleh aparat keamanan yang terdokumentasi, satu-satunya Pengadilan HAM yang mengadili kasus pelanggaran HAM di West Papua, kasus Abepura, dihelat tahun 2004, yang di dalamnya dua anggota kepolisian yang jadi terdakwa dinyatakan bebas oleh majelis hakim.

 

Kesimpulan

Sebagaimana disampaikan dalam briefing kami, catatan tentang efektivitas Pengadilan HAM yang dibentuk untuk mengadili pelanggaran HAM khusus tidak berjalan dengan baik, dengan nihilnya terdakwa yang menjalani hukuman. Pada 8 Desember pengadilan telah memutuskan Isak Sattu tidak bersalah, dengan kemungkinan Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi.

Kami akan terus menyajikan perkembangan tentang hasil kasasi yang mungkin ada. Sebelas kasus pelanggaran HAM lainnya telah bertahun-tahun ditunda oleh Kejaksaan Agung. Indonesia, dalam laporannya untuk Peninjauan Berkala Universal (UPR), sesumbar bahwa berbagai pelanggaran HAM akan diajukan ke proses yudisial dan akan memberikan keadilan serta reparasi untuk keluarga korban. 

Karenanya, penting bagi komunitas internasional untuk:

  • terus memastikan Indonesia tetap akuntabel
  • pantau kasus ini apalagi bahwa tidak seorang pun dinyatakan bersalah
  • tekan Kejaksaan Agung agar mendengarkan suara masyarakat sipil yang mendesak pelaksanaan pengadilan yang sesuai dengan standar internasional, termasuk untuk kasus-kasus lainnya.

 

SELESAI

 

Kontak: info@tapol.org


 

[1] CNNindonesia.com, 'Kontras Catat Beda Dakwaan dan Penyelidikan Komnas HAM di Kasus Paniai', 6th November 2022. 

[2] R. Rikang, 'Shaking on a Date' majalah.tempo.co, 5th September 2022

[3] CNNindonesia.com, 'Pleidol Pensiunan Mayor TNI Terdakwa Kasus Paniai: Saya Korban Fitnah', 28th November 2022

[4] UCB War Crimes Studies Center, ‘East Timor, Indonesian Judges Seminar on International Humanitarian Law’, September 2003, https://www.ocf.berkeley.edu/~wcsc/wp-content/uploads/East_Timor_and_Indonesia/Judges_Training_Seminar/Judges_Training_seminar.htm