Lompat ke isi utama

Tentara pelaku kekerasan terhadap sipil di Tanah Papua harus bertanggung jawab dan akhiri rasisme institusional

TAPOL
29 Juli 2021

TAPOL mengecam keras perlakuan dua personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Udara yang menganiaya seorang penyandang disabilitas, Steven Yadohamang, di Merauke, Provinsi Papua Barat, pada 27 Juli 2021. Peristiwa yang sudah beredar luas di media sosial itu memperlihatkan dua personel tersebut memukuli seorang pria dan membanting tubuhnya ke tanah dan menginjak kepalanya. Dari rekaman itu terlihat jelas bahwa Steven tidak memiliki kemampuan untuk membela diri dari dua individu yang tampaknya tidak peduli dengan konsekuensi yang mungkin terjadi. Keesokan harinya, terjadi kejadian serupa di Nabire. Seorang pria Orang Asli Papua, Nicolas Mote, kepalanya berulang kali dipukul secara tiba-tiba ketika ditangkap, meskipun dia tidak melakukan perlawanan sedikit pun.

Kejadian tersebut merupakan sebagian dari rentetan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap warga sipil di Tanah Papua. Ini menimbulkan pertanyaan lanjutan tentang tujuan dari penambahan jumlah personel militer di Tanah Papua. Lebih lanjut, TNI AU telah meminta maaf tetapi menyarankan agar kedua prajurit, Sersan Dua Dimas Harjanto dan Prajurit Dua Rian Febrianto, harus bertanggung jawab atas insiden tersebut. Mereka, dan media Indonesia, menggambarkan dua orang tersebut sebagai “oknum”. Penilaian ini tidak konsisten dengan pola kekerasan yang dilakukan terhadap warga sipil yang dibiarkan tanpa hukuman selama ini. Seandainya tidak ada bukti visual yang tak terbantahkan tentang kekerasan aparat keamanan seperti kejadian kali ini, sangat mungkin bahwa kejadian tersebut tidak akan diselidiki lebih lanjut oleh pihak berwenang. Meski menghadapi kemungkinan hukuman, para pelaku ini kemungkinan hanya menerima hukuman ringan karena mereka akan diadili di peradilan militer. Setelah berakhirnya masa Orde Baru, politisi sipil tidak mendorong personel militer untuk diadili di peradilan sipil.

Peningkatan personel militer dan polisi di Provinsi Papua dan Papua Barat terjadi sejak 2019. Pengerahan dan operasi pasukan keamanan semakin meningkat sejak April tahun ini, ketika Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Mahfud MD, menetapkan gerakan perlawanan bersenjata sebagai kelompok 'teroris'. Saat itu, Mahfud menginstruksikan personel militer yang dikerahkan ke Tanah Papua untuk tidak “menargetkan warga sipil” selama operasi. Masyarakat di Tanah Papua dan Indonesia telah menyuarakan kekhawatiran bahwa label tersebut akan semakin menstigmatisasi warga sipil Papua. 

Namun, kami juga ingin menyoroti bahwa ada masalah mendasar yang signifikan di Tanah Papua yaitu institusionalisasi rasisme oleh pihak berwenang (termasuk pasukan keamanan) serta kriminalisasi terhadap warga Papua dan lainnya yang menyampaikan hak untuk berekspresi dan berkumpul secara damai. Masalah-masalah ini tidak akan teratasi hanya dengan mendorong pembatasan militer atau proses peradilan melalui pengadilan militer. Kasus Steven menjadi bukti bahwa warga Papua terus menghadapi kekerasan dan tindakan yang tidak manusiawi oleh aparat keamanan dan pihak berwenang yang tampaknya tidak peduli dengan konsekuensi dari tindakan mereka.

Oleh karena itu, kami menyerukan kepada Presiden Joko Widodo dan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia untuk menyelesaikan agenda reformasi militer pasca-Soeharto. Undang-undang (UU) tentang TNI sudah memungkinkan tentara diadili di peradilan umum bila melakukan kejahatan non-militer. Namun ketentuan progresif ini masih belum dapat dilaksanakan karena UU tentang Pengadilan Militer belum diubah. Langkah ini sangat penting untuk memberantas budaya impunitas karena TNI adalah salah satu pelaku utama pelanggaran hak asasi manusia di Tanah Papua.

 

Hubungi: info@tapol.org