Lompat ke isi utama

Pernyataan TAPOL atas Penetapan Haris dan Fatia sebagai Tersangka serta Intimidasi terhadap Amnesty International Indonesia

TAPOL
22 Maret 2022

Gambar: youtube.com/@harisazhar2868

 

London, 22 Maret 2022

Kebebasan menyatakan pendapat di Indonesia tidak kunjung membaik. Kondisinya bahkan bisa mengkhawatirkan jika pendapat yang dikemukakan adalah pandangan kritis terhadap persoalan hak asasi manusia (HAM) rakyat West Papua.

Kamis, 17 Maret 2022, kantor Amnesty International Indonesia (AII) didemo ratusan anggota milisi reaksioner yang tergabung dalam Laskar Merah Putih (LMP). Mereka menuding Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid serta lembaganya sebagai provokator dan pengemban kepentingan asing, yang merongrong kedaulatan negara karena mengecam pelabelan teroris terhadap Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) dan kerap mempersoalkan pelanggaran HAM di West Papua.

Keesokan harinya, Direktur Lokataru Haris Azhar dan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti ditetapkan sebagai tersangka pencemaran nama baik oleh Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya. Sebelumnya, mereka berdua dilaporkan ke polisi oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan pada 22 September 2021, lantaran namanya disebut-sebut dalam acara bincang-bincang NgeHAMtam bertajuk “Ada Lord Luhut Dibalik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya‼ Jenderal BIN juga Ada!!” di akun YouTube Haris Azhar. Padahal apa yang diperbincangkan dalam acara tersebut bukan berangkat dari asumsi, melainkan dari laporan investigasi kolaboratif sejumlah organisasi tentang ekonomi-politik militerisasi di Intan Jaya, Provinsi Papua.

Kami menilai bahwa insiden yang dialami AII dan Haris-Fatia merupakan bagian dari upaya Pemerintah Indonesia dan para pejabat tingginya membungkam pihak-pihak yang melihat permasalahan di West Papua secara kritis. Pada waktu yang kurang lebih sama, baik AII maupun Haris-Fatia tengah menyoroti potensi pelanggaran HAM akibat ekspansi kapital—yang melibatkan sejumlah purnawirawan jenderal dan pejabat tinggi negara—dalam mengeksploitasi sumber daya alam di West Papua, khususnya Blok Wabu, wilayah konsesi pertambangan emas yang relatif baru di Intan Jaya. Ekses ekspansi tersebut terhadap situasi HAM dan demokrasi di West Papua tidak bisa dipandang sebelah mata, sebab telah sering terjadi kehadiran investasi di daerah tertentu berakibat pada marjinalisasi, pembungkaman, hingga pembunuhan penduduk setempat. 

Kami mendesak Pemerintah Indonesia agar menghentikan segala bentuk tindakan represif terhadap para pembela HAM. Pemerintah harus mencabut perizinan pertambangan di Blok Wabu yang berpotensi memperparah dan mendorong eskalasi konflik di Intan Jaya. Pemerintah harus memenuhi janjinya dalam mengimplementasikan perlindungan dan penghormatan terhadap HAM. Kami pun mendesak pemerintah agar menghormati hak penentuan nasib sendiri, mengizinkan pengamat internasional masuk ke West Papua, dan membuka dialog damai dengan kelompok prokemerdekaan yang dimediasi pihak netral, dengan syarat menarik TNI-Polri organik dan nonorganik dari Tanah West Papua.