Pada 25 November 2021 Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan agar Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia mengubah beberapa bagian Undang-Undang Cipta Kerja (UU CK/Omnibus Law). MK juga melarang penerbitan peraturan pelaksana dan kebijakan lainnya yang terkait dengan undang-undang tersebut dalam tenggang dua tahun ke depan. Bila hal itu tidak dilakukan, MK memutuskan bahwa Omnibus Law akan menjadi “inkonstitusional secara permanen”.
Putusan MK tersebut akan semakin menekan pemerintah untuk kembali mempertimbangkan peran Omnibus Law. Namun, dua tahun masa revisi tetap bisa dieksploitasi. Pada akhir masa revisi nanti, November 2023, Indonesia hanya punya waktu kurang dari tujuh tahun untuk memenuhi janjinya sesuai dengan kesepakatan deforestasi yang ditandatangani Oktober lalu di KTT COP26. Para penanda tangan kesepakatan itu berjanji untuk menghentikan deforestasi paling lambat pada tahun 2030, meskipun pengaturan pengawasan internasionalnya kemungkinan tidak akan memadai. Apalagi kesepakatan tersebut diremehkan oleh sejumlah menteri Indonesia sesaat setelah penandatanganan.
Menjelang akhir tahun lalu, sesaat sebelum DPR mengesahkan UU tersebut, dan saat demonstrasi-demonstrasi menentang Omnibus Law sedang berlangsung, TAPOL melaporkan bahwa UU tersebut akan melucuti hak-hak buruh. Undang-undang itu juga sangat melemahkan perlindungan terhadap lingkungan, termasuk memperlemah peran AMDAL. Ia juga semakin menyulitkan masyarakat yang hendak mengajukan gugatan hukum akibat terkena dampak polusi atau perubahan iklim.
Beberapa bulan sebelum Omnibus Law disahkan pada tahun 2020, Presiden Joko Widodo telah meminta “dukungan” Mahkamah Konstitusi dalam “menciptakan hukum yang fleksibel, sederhana, responsif, dan kompetitif demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia sesuai amanat Konstitusi.”
Namun, seputar waktu UU tersebut disahkan, pemerintah dihadapkan dengan aksi-aksi protes di berbagai kota besar. Pada Mei 2021, sejumlah anggota DPR terkejut ketika tahu bahwa UU tersebut membebaskan operator perkebunan kelapa sawit ilegal dari pelanggaran alias memberi mereka pengampunan. Padahal, anggota-anggota DPR itu, beberapa di antaranya adalah anggota komisi urusan lingkungan, telah berulang kali diperingatkan secara terbuka perihal konsekuensi disahkannya UU tersebut.
Sayangnya, hitung-hitungan parlemen bukanlah bertujuan mereformasi UU tersebut secara mendalam, apalagi mencabutnya. Sebagai informasi, koalisi pemerintah sekarang terdiri dari hampir semua partai politik, kecuali Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat (PD).