Jatuh Bangunnya Calon-Calon Militer dalam Pemilu Indonesia
Pemilu adalah indikasi beberapa hal: popularitas atau terpuruknya pemerintah dan kecenderungan politik lainnya. Dalam negara yang kompleks seperti Indonesia, pemilu juga melibatkan usaha kelompok dalam elit yang berkuasa untuk mempertahankan kemenangannya atau upaya mereka yang telah tenggelam untuk tampil kembali. Sejak jatuhnya Suharto tahun 1998, elit militer telah banyak kehilangan kekuatan politiknya dan sekarang mereka secara resmi disingkirkan dari arena politik. Karena itu bukan suatu kebetulan kalau banyak pensiunan perwira, terutama mantan jenderal angkatan darat, yang ingin kembali ke panggung politik. Banyak yang sudah menjadi calon legislatif dalam pemilu 2009 sementara beberapa kaliber berat telah melangkah menuju pemilihan presiden yang akan diadakan kemudian pada tahun depan.
Ini dapat diinterpretasikan dalam beberapa cara. Selama lebih dari tiga dekade, Suharto memimpin kediktatoran militer dengan dwifungsi sebagai doktrin utamanya. Dwifungsi memberi militer hak untuk bermain dalam politik, yang kemudian dieksploitasi dalam skala besar. Meskipun anggota angkatan bersenjata tak diperbolehkan memilih, mereka diberi jatah 100 kursi dalam DPR dan DPRD. Tetapi, setelah jatuhnya Suharto, dwifungsi dilempar masuk ke tong sampah sejarah.
Sepanjang sejarahnya, Indonesia telah memiliki beberapa pengalaman mengenai keterlibatan militer dalam politik. Selama apa yang disebut sebagai jaman liberal (1952-1959), militer tak puas disingkirkan dari panggung politik dan membentuk partai politik mereka sendiri, IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) yang tampil dengan menyedihkan dalam pemilu1955. Aspirasi politik mereka kembali muncul setelah beberapa organisasi militer mendirikan platform baru bernama Golkar (Golongan Karya) pada tahun 1964. Maksudnya adalah agar Golkar dapat menghadapi pengaruh PKI (Partai Komunis Indonesia) yang kian besar. Golkar menjadi mesin politik yang ampuh bagi Suharto dan jenderal-jenderalnya setelah mereka merebut kekuasaan pada bulan Oktober 1965 dan menyingkirkan gerakan sayap kiri.
Selama lebih dari 30 tahun Golkar tetap menjadi satu-satunya kendaraan politik militer tetapi partai ini secara konstan direcoki oleh pergulatan kekuasaan internal. Pada tahun 1990-an, Suharto kian terisolasi dan memutuskan untuk “menyipilkan” pucuk pimpinan Golkar. Tahun 1993 ia menunjuk Harmoko, seorang sipil, sebagai ketua, dan lima tahun kemudian, Akbar Tandjung mengambil alih. Tahun lalu, Jusuf Kalla, wakil presiden Indonesia, terpilih sebagai ketua partai.
Perkembangan ini mengantarkan keterlibatan militer dalam politik menuju fase ketiga: dengan peran yang kini melemah, beberapa jenderal utama mulai mendirikan organisasi politik di luar Golkar.
Untuk baca selengkapnya, PDF bisa di download.