Impunitas: Noda hitam dalam demokrasi Indonesia
Sejak Suharto merebut kekuasaan di Indonesia pada bulan Oktober 1965, impunitas telah mengakar di negara ini. Meskipun jatuhnya diktator itu pada bulan Mei 1998 kemudian memperkenalkan Indonesia dengan mekanisme dasar demokrasi, tetapi peristiwa itu sama sekali tak berpengaruh untuk mengakhiri momok impunitas.
Pemilu tahun 2009 dengan penuh empati telah mengembalikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada kekuasaan dan kini ia memiliki kesempatan lain untuk menambahkan lebih banyak substansi pada transisi demokrasi dengan mengatasi masalah fundamental yang ditiimbulkan oleh tiadanya akuntabilitas bagi kejahatan hak asasi manusia yang serius.
Impunitas, yang berarti kejahatan tanpa hukuman, menimbulkan ancaman serius bagi hak asasi manusia. Jika terjadi kejahatan, sesuai dengan kedaulatan hukum maka pelakunya harus dimintai pertanggungjawaban. Hal ini jelas tertuang dalam Deklarasi Universal mengenai Hak Asasi Manusia, Pasal 8, yang menyatakan:
‘Setiap orang berhak atas pemulihan yang efektif dari pengadilan nasional yang kompeten untuk tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak dasar yang diberikan kepadanya oleh undang-undang dasar atau hukum.’
Selama enam bulan pertama setelah Suharto berkuasa, diperkirakan bahwa terdapat hingga satu juta orang yang tewas dalam pembunuhan yang melanda negeri ini. Pembunuhan itu dilakukan oleh anggota Angkatan Bersenjata Indonesia atau oleh masa yang bertindak karena hasutan militer dan dipersenjatai oleh mereka. Puluhan ribu orang ditangkap di seluruh negeri dan ditahan tanpa pengadilan, banyak diantaranya yang mendekam dalam penjara hingga 14 tahun.
Gelombang pembunuhan dan penangkapan masal diakui sebagai salah satu kejahatan terburuk terhadap kemanusiaan dalam abad ke-20. Pada tahun 1977 Amnesti Internasional menyatakan bahwa ‘tak ada negara lain di dunia ini yang memiliki begitu banyak tahanan politik yang masuk penjara tanpa diadili untuk waktu yang sedemikian lama.’
Pada tahun 1969, 13.000 tahanan lelaki dibuang ke Buru, sebuah pulau terpencil yang dikelilingi laut berhiu, tanpa ada jalan untuk melarikan diri. Mereka tak dapat dikunjungi keluarganya yang tinggal sekitar 2.000 kilometer jauhnya di pulau Jawa dan bagian lain di negara ini, dan harus hidup dalam lingkungan fisik yang keras dan menjalani kerja paksa tanpa ampun. Ratusan tahanan tewas karena kelaparan dan luka yang tak terobati; mereka tak mendapatkan pengobatan medis, bahkan yang paling mendasar sekalipun.
Untuk baca selengkapnya, file PDF bisa di download.