Lompat ke isi utama

West Papua 2021 Kebebasan Berekspresi dan Kebebasan Berkumpul Laporan Lengkap

21 Oktober, 2022

London, 20 Oktober 2022

Ringkasan Eksekutif

Kriminalisasi, kolusi, dan janji-janji palsu menjadi isu utama kebebasan berekspresi dan berkumpul di West Papua dan terkait West Papua pada tahun 2021. Setelah tahun yang luar biasa akibat dampak pandemi Covid-19 dan karantina wilayah di seluruh dunia, tekanan oleh Pemerintah Indonesia kembali terjadi dengan mengkriminalisasi, memenjarakan dan mengintimidasi aktivis-aktivis yang berbicara lantang soal isu-isu menyangkut West Papua, ditandai dengan meningkatnya jumlah penangkapan dan meningkatnya insiden polisi dan milisi yang bertindak bersama-sama. Polisi terlibat, baik sendiri maupun bersama-sama dengan aktor lain, mencapai  85,3 persen dari keseluruhan insiden  itu. Laporan lebih lanjut menunjukkan:

  • Bahwa terdapat total 671 orang yang diperkirakan ditangkap sepanjang tahun 2021, meningkat 45,9 persen dibandingkan tahun 2020, yang sebagian dapat dijelaskan oleh karena pelonggaran pembatasan Covid-19 serta kemampuan dan keinginan berkumpul untuk melakukan protes di jalanan lagi.

 

  • Seiring meningkatnya jumlah total penangkapan, jumlah insiden penangkapan justru menurun. Ini berarti bahwa penangkapan massal lebih sering digunakan oleh aparat keamanan. Penangkapan massal menunjukkan adanya upaya untuk mengganggu dan semakin mempersulit kebebasan berkumpul di waktu mendatang. 

 

  • Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, pihak berwenang masih terus menggunakan tuduhan makar untuk mengkriminalisasi aktivis yang mempromosikan hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat West Papua. Faktanya Indonesia sudah menyatakan tidak mengakui kegiatan-kegiatan yang, dalam pengertian sewenang-wenang mereka, mempromosikan “separatisme”, telah secara langsung menambah efek buruk akibat kriminalisasi ini.

 

  • Militer menggunakan undang-undang anti-teror untuk menggolongkan kelompok bersenjata sebagai 'teroris'. Meskipun pemerintah menggunakan klaim pendekatan 'kemanusiaan' pada akhir tahun 2021, namun alasan 'terorisme' digunakan oleh aparat keamanan dan operasi intelijen untuk mengganggu dan mengkriminalisasi kelompok sipil non-kekerasan.

 

  • Kendati pembatasan resmi sudah dilonggarkan, pihak berwenang masih menggunakan Covid sebagai alasan paling umum untuk membubarkan aksi protes. Alasan tersebut digunakan terhadap tak kurang dari 10 peristiwa, terutama pembubaran di luar wilayah West Papua. Sejauh ini kelompok yang paling disasar adalah mahasiswa, yang menjadi target utama dalam 29 kasus yang dilaporkan, yakni lebih dari 69 persen dari total insiden.

 

  • Pihak berwenang masih menggunakan alasan pandemi Covid-19 untuk membatasi kebebasan berekspresi; membungkam demonstrasi yang tidak mereka setujui; Pemerintah tetap menyatakan bahwa “separatisme”, yang mereka definisikan secara sewenang-wenang, tidak mendapat jaminan perlindungan kebebasan berkumpul; dan militer telah melabeli perlawanan bersenjata sebagai 'teroris' dengan mengklaim bahwa warga sipil yang tidak bersalah terlibat dalam 'terorisme'.

 

  • Aparat telah melakukan pelanggaran atas dasar tindakan (by commission), seperti pembubaran demonstrasi dan penangkapan pelaku sewenang-wenang, penyiksaan, pemukulan, dan perlakuan kejam terhadap orang-orang yang ditangkap; serta pembiaran (by omission), seperti dengan sengaja mengabaikan narapidana yang membutuhkan perawatan.

 

  • Pada beberapa peristiwa, pertemuan-pertemuan dirongrong oleh kelompok-kelompok milisi yang para anggotanya melakukan serangan fisik, mengintimidasi dan menganiaya demonstran dihadapan polisi tanpa ada upaya pencegahan. Ini terjadi khususnya terhadap demonstrasi mahasiswa di luar West Papua.

 

Type