Lompat ke isi utama

Laporan Terbaru TAPOL - West Papua 2022: Ada hukum, penangkapan dan kekerasan yang memburuk di balik kata-kata manis Jakarta

10 Mei, 2023

London, 10 Mei 2023

Siaran Pers

Tinta telah mengering. Undang-undang yang membentuk provinsi-provinsi baru di West Papua sudah disahkan lewat klaim Jakarta bahwa pemerintah mendapat dukungan dari masyarakat Papua. Namun laporan terbaru TAPOL, 'West Papua 2022: Kebebasan Berekspresi dan Kebebasan Berkumpul', kembali menunjukkan adanya peningkatan insiden, termasuk penangkapan, pembubaran, intimidasi, dan pembunuhan karena mengekspresikan perbedaan pendapat. Hal ini menandakan adanya penurunan situasi terkait Kebebasan Berkumpul dan Berekspresi di West Papua. Laporan ini juga menyoroti bahwa "trennya terus memburuk, meski ada inisiatif, janji, dan pendekatan baru dari pemerintah, yang membuktikan bahwa pemerintah tidak aktif bekerja memperbaiki keadaan Kebebasan Berekspresi dan Berkumpul di West Papua".

Semua tindakan ini, ditambah pengesahan KUHP yang baru; kematian mantan tahanan politik Papua, Filep Karma, yang mencurigakan; dan vonis tak bersalah terhadap perwira yang diadili karena terlibat dalam peristiwa Paniai Berdarah pada tahun 2014, menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi itu berlatar pada pengekangan hak-hak melalui hukum. Inilah bentuk pemberangusan terhadap Kebebasan Berekspresi dan Berkumpul, serta keamanan individu dan hilangnya rasa keadilan setelah pelanggaran dilakukan.

Laporan ini menyoroti dan membahas secara rinci latar belakang dan insiden yang terjadi sepanjang tahun, serta bagaimana tahun 2022 berkesesuaian dengan tren yang umum terjadi selama empat tahun terakhir. Steve Alston, ketua TAPOL, mengatakan: "Kami mencatat tren yang memburuk di semua jenis insiden. Dibandingkan tahun 2021, telah terjadi setidaknya 801 penangkapan, meningkat 19,4 persen, serta intimidasi dan kekerasan, termasuk penyiksaan dan pembunuhan yang meningkat 25 persen. Aparat keamanan, bersama kelompok paramiliter, terus menciptakan iklim yang mencekam bagi orang-orang yang menggunakan kebebasannya untuk mengekspresikan pendapat tentang West Papua, jauh dari citra yang ingin ditunjukkan Indonesia kepada dunia dalam forum-forum seperti Peninjauan Periodik Universal (UPR) di PBB, atau sebagai presiden G20."

Laporan ini juga menunjukkan keterlibatan polisi meningkat, terutama dalam melanggar kebebasan berekspresi dan berserikat. Fenomena ini menunjukkan suatu keberlanjutan strategi dan intoleransi  dari polisi di West Papua dan di Indonesia, terhadap kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan West Papua. Meningkatnya penangkapan sewenang-wenang telah menjadi fenomena ganda, yaitu peningkatan dalam jumlah insiden penangkapan massal, serta penangkapan terhadap orang-orang yang ditargetkan yaitu mereka yang memiliki peran dalam kepemimpinan organisasi pro-kemerdekaan.

Meningkatnya prevalensi serangan terhadap para pembela hak asasi manusia (HAM) dan media, serta insiden-insiden yang berhubungan dengan internet, juga menjadi perhatian. Pemerintah Indonesia, yang hanya melindungi apa yang dilihatnya sebagai aktor 'sah', telah mengkriminalisasi para pembela HAM dan media independen. Pemerintah seringkali menghalangi kerja mereka meminta pertanggungjawaban pihak-pihak yang berkuasa atas tindakan-tindakannya. Hal ini membuka peluang bagi aktor-aktor non-negara menyerang dan menargetkan para aktivis dan organisasi yang menjalankan peran penting ini, di tengah situasi yang semakin memburuk.

SELESAI

Untuk pertanyaan media, hubungi Ian Moore, TAPOL Campaigns, campaigns@tapol.org

Silahkan baca laporan lengkap di sini.